Selasa, 20 Oktober 2009

STRATEGI MENGATASI MASA SULIT BAGI NELAYAN PANCING (PUNGGAWA–SAWI)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap jenis pekerjaan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, begitu pula dengan nelayan. Meskipun dapat dikatakan sumber daya alam yang ada di laut merupakan sumber daya yang paling kaya, namun hal tersebut tidak menjadi jaminan. Justru sebaliknya, nelayan selalu dikaitkan dengan kemiskinan khususnya pada kelompok pekerja atau sawi. Perilaku konsumtif disebut-sebut menjadi salah satu faktor penyebabnya. Maksud dari perilaku konsumtif itu sendiri, ketika penghasilan melimpah maka sawi akan bersikap boros dengan menghabiskan penghasilannya tersebut. Namun hal ini sebenarnya bukanlah penyebab tunggal, ini hanya bentuk pemuasan psikologi karena terlalu lama dan sering dihadapkan pada masa sulit. Tetapi ada juga sawi yang menggunakan sebagian penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian lagi disimpan agar dapat digunakan sewaktu-waktu.
Dalam masyarakat nelayan terdapat hubungan patron-klien antara pemilik modal / pemimpin produksi dengan pekerja (punggawa-sawi). Bentuk hubungan patron-klien ini dapat berupa pertukaran material dan jasa. Hubungan ini sebenarnya dapat melahirkan ketergantungan sawi kepada punggawa. Apalagi ketika sawi mengalami masa-masa sulit maka yang akan didatangi adalah punggawa. Sebab hampir sebagian besar sawi tidak memiliki sampingan, hanya mengandalkan bantuan dari punggawa. Sehingga yang akan berlangsung berikutnya, punggawa sebagai yang diikuti dan sawi sebagai pengikutnya.
Selain itu kenyataannya, hubungan patron-klien ini terjadi secara tidak seimbang. Dimana sawi telah lebih dulu memiliki utang budi saat pertama kali diterima bekerja oleh punggawa. Ditambah lagi ketika hampir segala macam bentuk kebutuhan ekonomi sawi dipenuhi oleh punggawa, maka sawi hanya mampu membayarnya dengan tenaga, kepatuhan dan kesetiaan kepada punggawa. Namun pemenuhan kebutuhan tersebut sebenarnya merupakan salah satu cara untuk membuat sawi merasa memiliki keterikatan dengan punggawa. Sehingga kesetiaan dan keutuhan kelompok sawi tetap terjaga, meskipun punggawa harus mengeluarkan anggaran tersendiri untuk sawi yang membutuhkan bantuan. Tanpa disadari sawi juga tidak akan keberatan untuk setia dan patuh bahkan akan cenderung merasa senang karena segala bentuk resiko ekonomi akan ditanggulangi oleh punggawa.
Tetapi tidak selamanya punggawa memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik daripada sawi. Ketika para nelayan mengalami masa-masa sulit, dimana perolehan hasil tangkapan tidak mencukupi maka punggawa pun jelas akan mengalami kesulitan. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sawi, untuk memenuhi kebutuhannya sekalipun akan sulit rasanya. Apalagi bila bagi hasil yang dilakukan ternyata tidak mencukupi, beruntunglah bila punggawa tersebut memiliki usaha sampingan / simpanan maka mungkin masih dapat digunakan atau mungkin juga punggawa akan mencari pinjaman modal keluar. Tetapi bila dalam keadaan terdesak tidak menutup kemungkinan jika punggawa tersebut terpaksa menjadi sawi. Sedangkan sawi, bila mereka kesusahan dapat meminta bantuan ke punggawa. Namun jika punggawa tidak sanggup, apakah mereka punya cara lain untuk dapat memperoleh pinjaman? Begitu pula dengan punggawa yang mengalami kesulitan, kemana punggawa harus meminta bantuan? Oleh karena itulah pada kesempatan kali ini peneliti ingin meneliti mengenai “Strategi Mengatasi Masa Sulit Bagi Nelayan Punggawa-Sawi”.
B. Rumusan Masalah
Masa sulit yang kerap dialami oleh mereka yang berprofesi sebagai nelayan terkadang mengharuskan mereka berusaha lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebenarnya masalah seperti itu hampir dirasakan oleh semua jenis pekerjaan, misalnya petani yang juga sering mengalami paceklik. Namun, pekerjaan-pekerjaan tersebut masing-masing mempunyai masa-masa sulit yang berbeda-beda. Begitu pula dengan para nelayan, mereka memiliki masa sulit yang tidak sama dengan yang lain. Berdasarkan uraian sebelumnya di atas, maka peneliti akan memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
1. Kapan nelayan punggawa-sawi mengalami masa-masa sulit
2. Bagaimana strategi punggawa-sawi dalam mengatasi masa sulit untuk memenuhi kebutuhannya
C. Tujuan Penelitian
Dengan bertolak pada penjelasan sebelumnya, maka berikutnya peneliti ingin mengemukakan tujuan dari penelitian ini. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain :
1. Untuk mengetahui masa-masa yang dianggap dan sering dirasakan oleh nelayan sebagai masa sulit.
2. Untuk mengetahui cara atau strategi yang digunakan dalam memenuhi kebutuhannya pada masa sulit.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentu saja terdapat manfaat yang hendak diperoleh. Ada dua macam manfaat penelitian, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Begitu pula pada penelitian ini, manfaatnya antara lain sebagai berikut :
o Manfaat teoritis, dapat memberi masukan kepada antropologi tentang model atau bentuk adaptasi dalam bentuk kekinian.
o Manfaat praktisnya, ada dua yaitu sebagai berikut :
- Dapat menjadi landasan bagi pemerintah setempat untuk membuat program penyelesaian masa sulit.
- Pemerintah hendaknya memberikan tindakan tegas terhadap penggunaan alat tangkap yang digunakan nelayan dan bersifat destruktif / merusak.
E. Kerangka Konseptual
Masalah yang menjadi fokus penelitian mengenai masa sulit yang sering dirasakan oleh nelayan punggawa-sawi dalam kehidupan sehari-hari. Kesulitan ekonomi lebih sering dialami oleh nelayan buruh atau sawi. Kondisi cuaca yang tidak menentu sering menjadi penghambat utama dalam melaut, sehingga seringkali tidak memperoleh penghasilan.
Adanya kecenderungan nelayan berperilaku konsumtif ketika memperoleh penghasilan yang berlimpah juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi. Namun kecenderungan ini hanya merupakan “kompensasi psikologis” dari kesengsaraan hidup yang cukup lama dirasakan. Tetapi penghasilan yang melimpah tidak selamanya digunakan untuk memenuhi selera konsumtif. Sebab masih ada pengendalian diri dalam bentuk menyisihkan penghasilannya untuk simpanan (Kusnadi, 2002).
Selain itu, keberadaan punggawa sangat membantu sawi ketika menghadapi masalah dalam memenuhi kebutuhannya pada masa sulit. Sebab hal seperti itu telah menjadi hal yang lazim terjadi pada masyarakat nelayan. Namun, akan menjadi kendala pula bagi punggawa untuk memenuhi kebutuhan sawinya saat ia juga mengalami masalah yang sama. Dalam hal ini punggawa tentu saja memiliki cara yang berbeda dalam mengatasinya. Simpanan atau penghasilan dari usaha lain mungkin dapat menjadi solusi bagi punggawa.
Tetapi kapan masa sulit yang sebenarnya sering dirasakan nelayan punggawa-sawi. Apakah sawi memiliki pandangan yang berbeda mengenai masa sulit yang dirasakan dengan punggawa? Bila pandangannya, apakah mereka punya cara atau strategi yang sama dalam mengatasi masa sulitnya? Jika berbeda bagaimana cara sawi menghadapinya? Dan bagaimana pula strategi punggawa mengatasinya?
F. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ada beberapa hal yang harus diperhatikan, hal-hal tersebut adalah jenis penelitian, teknik penentuan informan, teknik pengumpulan data, serta jenis dan analisis data.
1. Jenis Penelitian
Untuk penelitian kali ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.
2. Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan, dimulai dari informan kunci yang menunjukkan informan ahli. Dimana informan kunci dapat membantu untuk menemukan informan ahli. Sehingga dapat memperoleh data-data yang sesuai dan dibutuhkan dalam proses penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Setelah menemukan informan ahli, maka proses berikutnya adalah pengumpulan data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan anatara lain sebagai berikut :
1. Observasi ; pengamatan yang dilakukan tertuju kepada situasi dan kondisi tempat tinggal informan yang dapat berhubungan dengan data atau informasi yang diperoleh.
2. Wawancara mendalam (indepth interview) ; dalam wawancara, peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur. Menggunakan draft / pedoman wawancara namun dapat menghasilkan pertanyaan lanjutan yang lebih mendalam mengenai data yang dibutuhkan. Dalam proses ini peneliti membutuhkan informan, nelayan yang memiliki modal, mempunyai alat tangkap atau pemimpin produksi / punggawa dan nelayan buruh / sawi.
3. Kajian pustaka ; kajian pustaka sangat dibutuhkan dalam penelitian, utamanya dalam pembuatan proposal dan penulisan laporan. Selain itu, dalam mengolah data diperlukan literatur yang relevan dengan masalah yang dikaji oleh peneliti.
4. Jenis dan Analisis Data
Informasi atau data yang diperoleh baik dari informan kunci maupun informan ahli kemudian akan dibagi menjadi data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan data pangkal yang dapat diperoleh dari informan kunci mengenai kondisi lokasi penelitian. Termasuk di dalamnya informasi mengenai informan ahli. Sedangkan data primer merupakan data yang diperoleh dari informan ahli yang dibutuhkan dalam masalah penelitian.
Proses selanjutnya adalah analisis data, dimana pada proses ini diperlukan beberapa tahap. Langkah pertama merupakan langkah untuk memilah-milah antara data yang menunjang dan tidak menunjang dengan fokus penelitian. Kemudian memeriksa antara data dengan catatan lapangan agar dapat diketahui data atau informasi yang telah diperoleh selama di lapangan. Selanjutnya mengingat kembali tanggapan informan ketika wawancara sedang berlangsung, sebab dapat mempengaruhi data yang diberikan. Begitu juga dengan pengaruh kehadiran orang lain yang akan berdampak pada kelancaran wawancara dengan informan. Langkah berikutnya memperhatikan data yang diperoleh baik itu pernyataan langsung maupun kesimpulan tidak langsung yang berhubungan dengan fokus penelitian. Lalu langkah terakhir adalah dengan menemukan keabsahan data melalui triangulasi. Dimana yang dilakukan dalam proses ini adalah mencocokkan antara data dari informan yang satu dengan data dari informan yang lain (Moleong, 2002).

























BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI
Lokasi penelitian berada di Desa Tanru Sampe Timur, Kelurahan Pa’biringa, Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Berikut merupakan uraian singkat mengenai letak geografis dan keadaan alam, sarana dan prasarana serta kondisi sosial budayanya.
A. Letak Geografis Dan Keadaan Alam
Salah satu lingkungan dari delapan lingkungan yang berada di kelurahan Pa’biringa adalah desa Tanru Sampe. Tujuh lingkungan lainnya antara lain Pattontongan, Ujung Loe, Tamarunang, Jeneponto, Monro-monro, Tarusang, dan Bonto-bonto. Batas-batas geografis kelurahan Pa’biringa sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Balang, sebelah selatan berbatasan Laut Flores, sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Empoang dan sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Tamalatea.
Suhu di daerah tersebut berkisar antara 26°-28° C, yang beriklim tropis. Kondisi tanahnya berpasir dan berlumpur, meskipun cocok untuk persawahan namun keadaannya gersang bahkan terlihat tandus.
B. Sarana Dan Prasarana
Desa Tanru Sampe memiliki sebuah sekolah dasar (SD) dan dua bangunan mesjid. Selain itu, terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berada di pelabuhan. Pelabuhan itu sendiri belum diresmikan, tetapi sudah sering digunakan oleh masyarakat nelayan setempat. Keberadaan TPI ini juga didukung oleh adanya pabrik es balok.
Daerah ini dapat dikatakan cukup maju, karena akses transportasi untuk ke kota sangat mudah. Jalan-jalan yang beraspal sangat membantu mobil-mobil angkutan untuk dapat beroperasi di desa ini.

C. Kondisi Sosial Budaya
Meskipun akses ke kota semakin mudah karena adanya alat transportasi, namun tidak membuat masyarakat desa Tanru Sampe menjadi bersifat individualis. Mereka tetap bergotong royong dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam acara-acara tertentu maupun dalam kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Perbedaan status antara laki-laki dan perempuan juga masih sangat tampak, utamanya dalam pembagian kerja. Perempuan sangat jarang dilibatkan dalam kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan perikanan. Hal ini sangat tampak pada pagi atau sore hari ketika para nelayan pulang melaut atau sedang memperbaiki alat tangkap atau pancing mereka. Meskipun ada, hanya berhubungan dengan rumput laut. Mayoritas berdagang dengan cara membuka warung kecil di sekitar rumah mereka. Pada pagi hari perempuan lebih banyak berada di dapur dan pada sore hari mereka lebih sering berkumpul ketika sedang tidak ada aktifitas.
Adanya dua bangunan mesjid di daerah tersebut menandakan ketaatan mereka dengan agama. Kebiasaan-kebiasaan mereka dalam perayaan hari-hari besar agama tetap terjaga dan dianggap sebagai ritual yang wajib dilaksanakan. Sebab kepercayaan bila tidak dilakukan maka akan ada kesialan yang dapat menimpa. Misalnya peringatan Maulid, semua keluarga besar wajib melaksanakan maudu sesuai dengan kepercayaan masyarakat Tanru Sampe.




BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pekerjaan nelayan tidak jauh berbeda dengan pekerjaan lainnya yang memiliki atasan / bos dan bawahan (anak buah). Tetapi dikalangan nelayan ada istilah lain yang sering digunakan yaitu punggawa dan sawi. Di desa Tanru Sampe sendiri, mayoritas nelayannya adalah nelayan pemancing dan nelayan parengge (jaring). Bagi nelayan pemancing, mereka memiliki pengumpul ikan yang juga dapat dikatakan sebagai punggawa, sebab pengumpul ikan tersebut juga sering memberikan modal bagi nelayan pemancing yang membutuhkan. Ada banyak pengumpul ikan dengan sawi-sawi pemancing yang berbeda-beda. Meskipun begitu, dalam proses penjualan hasil tangkapan tidak ada pengumpul ikan yang bermasalah. Sebab masing-masing pengumpul ikan mempunyai sawi pemancing sendiri, dengan ketentuan kepada siapa yang memberikan mereka modal dalam bentuk pinjaman maka mereka harus menjual ikannya kepada orang tersebut. Terkadang dalam proses penjualan, harga yang diberikan oleh punggawa tidak sesuai dengan yang diinginkan sawi. Ketika hal ini terjadi, maka akan ada proses tawar-menawar dengan membandingkan harga jual oleh pengumpul ikan yang lain. Tetapi bila tidak ada kesepakatan sawi berhak menjual ikan pada pengumpul lain, dengan catatan sawi tidak sedang memiliki pinjaman kepada punggawanya. Hal tersebut tentu saja menjadi keringanan bagi sawi, selain itu tidak ada paksaan dari punggawa untuk turun melaut semuanya terserah sawi.
Pinjaman-pinjaman yang sering dilakukan oleh sawi kepada punggawanya tidak lain karena pada saat itu mereka dihadapkan dengan situasi yang sulit. Sekalipun wilayah mata pencaharian nelayan cukup luas, namun hal ini tidak menjamin mereka mendapat penghasilan setiap saat. Justru nelayan cenderung kesusahan untuk memenuhi kebutuhannya karena tidak memperoleh tangkapan, ini dianggap sebagai masa sulit. Kemudian untuk dapat mengatasinya bukan hanya sawi yang harus meminjam tetapi tidak jarang punggawa juga ikut mencari pinjaman, berikut uraiannya.
A. Masa-Masa Sulit
Alat tangkap yang digunakan nelayan pemancing berbeda dengan nelayan parengge (jaring). Nelayan pemancing menggunakan alat pancing yang disebut rawe, sedangkan nelayan parengge menggunakan jaring. Lokasi tangkapan nelayan parengge umumnya lebih jauh dari nelayan pemancing bahkan sampai ke daerah Flores. Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan pemancing bervariasi beberapa diantaranya adalah sunu bone, mosso (kerapu), katamba, masidung dan langa-langa (istilah lokal). Harganya pun bervariasi, yang paling mahal adalah ikan yang ditimbang kiloan seperti sunu bone, kerapu, dan katamba. Sedangkan ikan masidung dijual tetapi tidak ditimbang. Pendapatan dari ikan yang ditimbang hasilnya tidak sedikit, dalam aturan bagi hasilnya maka punggawa akan menerima 15-20% dari harga yang disepakati.
Namun hal tersebut tidak terjadi setiap saat, hanya berlangsung pada satu sampai dua bulan dalam setiap musim. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan yang bernama Dg. Sapa, :
“kita itu nelayan, dalam setahun tidak bisa beroperasi penuh dalam satu musim. Karena nda tentui waktunya, misalnya itu kalo musim timur tetapji juga biasa besar ombak baru keraski angin. Samaji juga kalo musim barat, nda jelek terus cuaca biasa tonji baguski tenangi air laut nda terlalu keraski angin. Cuma memang selama ini lebih seringki dapat cuaca jelek daripada cuaca bagus. Jadi itu hasil tangkapan ikan nda tentui juga, kadang-kadang banyak tapi kadang-kadang juga sedikit tonji. ”

Berdasarkan uraian informan di atas dapat dijelaskan bahwa, ketika sawi tidak memperoleh tangkapan maka tentu saja mereka tidak akan mendapat penghasilan. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya pun mulai terjadi. Selama ini banyak anggapan bahwa masa-masa sulit yang sering dialami nelayan adalah ketika musim barat. Dimana pada musim ini yang lazim terjadi adalah cuaca yang tidak bersahabat diikuti dengan angin kencang dan ombak besar. Namun, ternyata hal tersebut tidak hanya terjadi pada musim barat. Angin kencang dan ombak besar bisa terjadi pada setiap musim, baik itu musim barat ataupun musim timur. Inilah yang paling mempengaruhi nelayan utamanya nelayan sawi pemancing untuk turun melaut. Sekalipun mereka memutuskan untuk melaut tetapi seringkali tidak memperoleh hasil tangkapan. Bila masalah ini terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama maka inilah yang akan menyulitkan kehidupan sawi, sebab mereka tidak memperoleh penghasilan.
Kondisi seperti itu tidak hanya menjadi masalah bagi sawi, tetapi punggawa juga akan ikut kesulitan. Dimana punggawa harus tetap mengeluarkan biaya tanpa ada pemasukan dari sawi. Ketika beberapa sawinya datang untuk meminjam uang, meskipun keberatan punggawanya tentu saja akan memberikan pinjaman. Sebab tidak sedikit dari sawi merupakan kerabat dekat yang masih memiliki hubungan keluarga dengan punggawa. Selain itu, pinjaman yang diminta biasanya tidak terlalu besar (berkisar 50.000-100.000) dibandingkan dengan biaya mesin rusak. Akan semakin bertambah berat ketika punggawa harus memberikan biaya operasional dan sawi tidak memperoleh hasil tangkapan. Dengan situasi rumit yang seperti ini, maka punggawa tentu saja harus pandai dalam mengatasinya. Sebab punggawa harus mengusahakan agar sawi tetap bekerja padanya dan yang paling utama agar punggawa tidak bangkrut karena kehabisan modal.
B. Strategi Mengatasi Masa Sulit
Dalam kehidupan nelayan punggawa-sawi, mereka lebih sering diperhadapkan pada kondisi yang sangat tidak menguntungkan. Menurut salah seorang informan yang bernama Dg. Jumatang :

“itu biasa kalo pergi melaut nda setiap hari. Bukan dibilang musim timur bagus teruski cuaca baru banyak lagi hasil tangkapan, dalam satu tahun itu biar ada musim timur dengan barat paling sering itu dua bulan berturut-turut pergiki mencari. Jadi kalo umpamanya banyakmi hasil tangkapan biasami juga sawi yang simpanki sebagian penghasilannya. Supaya bisa dipake kalo susah meki lagi dapat ikan. Kadang itu nelayan dia titip uang sama kita atau sama punggawanya. Jadi kalo butuhki uang itu dulu simpanannnya na pake. Terus kalo nda adami uangnya baru dikasi pinjaman. Itupun terserah mereka kapan mau dibayar.”

Dari keterangan tersebut dapat dikatakan proses produksi aktif mereka hanya berkisar satu sampai tiga bulan dalam setahun baik dalam musim barat maupun musim timur, itupun sudah termasuk waktu yang cukup lama. Selebihnya hanya tergantun pada kondisi cuaca dan ini menjadi merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi mereka. Sebab dalam sehari sawi belum tentu turun melaut dan ini juga akan berpengaruh kepada pengumpul / punggawa. Ketika nelayan sawi pemancing tidak turun melaut atau tidak memperoleh tangkapan tentu saja mereka tidak memiliki ikan untuk dijual ke pengumpul ikan. Sementara kebutuhannya harus tetap dipenuhi dan ini sudah sering dialami oleh sawi. Sehingga terkadang saat penghasilan sedang melimpah maka sebagian akan mereka sisihkan untuk simpanan yang dapat digunakan sewaktu-waktu. Simpanan sawi ini tidak dalam bentuk tabungan di bank. Tetapi hanya disimpan sendiri atau ada juga yang menitipkan kepada punggawanya. Menurut salah seorang sawi yang bernama Dg. Mu’mang alasan nelayan sawi pemancing tidak menabung di bank
“karena itu biasa kalo butuhki uang mendadak sekali bisaji dipake langsung. Nda usahmi lagi susah-susah pergi ke bank untuk ambil itu uang, tambah-tambah ongkos pengeluaran saja.”

Tetapi jika simpanannya tersebut telah habis apalagi bila sawi tersebut tidak memiliki usaha sampingan, maka sawi akan menggunakan jaringan sosial untuk mencari pinjaman. Kecenderungan yang tejadi sawi akan datang ke punggawa untuk meminjam, apalagi dengan proses pembayaran yang tidak terikat. Dimana proses pembayarannya diserahkan sepenuhnya oleh sawi, tidak ada standar waktu yang ditentukan oleh punggawa untuk membayar. Selain faktor ikatan kerja dan hubungan keluarga, kepercayaan juga merupakan faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut. Begitu pula ketika mereka akan pergi melaut dan tidak mempunyai uang untuk biaya operasional, maka sekali lagi mereka akan meminta kepada punggawa. Hal ini dianggap bukan sebagai pinjaman, tetapi memang merupakan bagian dari kewajiban punggawa untuk membiayai sawinya. Namun bila punggawa tidak mampu memberi pinjaman, ia tidak lepas tangan begitu saja. Punggawa akan menyuruh sawi meminjam ke orang lain dengan jaminan dalam beberapa hari berikutnya punggawa akan membayarnya.
Berbeda dengan sawi ketika punggawa mengalami masa sulit dengan modal yang semakin menipis. Bagi punggawa yang memiliki usaha sampingan, maka ia dapat memanfaatkan hasil dari usaha sampingannya itu untuk membantu biaya operasional sawinya. Hal ini tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Dg. Jumatang
“inimi juga untungnya bukaki warung, ada usaha sampingan. Karena kalo sering lagi nda dapat ikan baru nda adami lagi uang, biasa hasil dari warungmi lagi yang dipake untuk tambah-tambahi modalnya anggota kalo mau pergi melaut. Masalah makannya juga orang di rumah nda terlalu dipusingimi karena masih adaji ternak, hasil kebun jagung yang bisa dijual.”

Apalagi jika perahu, mesin, atau alat tangkapnya mengalami kerusakan maka punggawa akan meminjam di bank dengan jaminan tertentu. Tidak sama dengan sawi yang tidak berani meminjam uang ke bank dengan alasan ketidaksanggupan mereka untuk membayar setiap bulannya. Tetapi bagi pengumpul / punggawa yang tidak memiliki usaha sampingan, maka ia akan bernasib sama dengan sawi. Pinjaman yang dilakukan biasanya kepada keluarga yang berada di luar daerah Tanru Sampe. Meskipun hal ini sering membuat punggawa terbebani, namun tidak pernah dipersoalkan. Karena bagi mereka masalah seperti itu sudah menjadi resiko dan tanggung jawab. Sehingga sebisa mungkin punggawa harus mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang sering terjadi.























BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan, di desa Tanru Sampe setiap pengumpul / punggawa memiliki sawi-sawi pemancing yang berbeda-beda. Tergantung kepada siapa mereka meminjam modal awal maka pada orang tersebutlah ia harus menjual ikannya. Meskipun begitu bila terjadi ketidakcocokan harga, biasanya terjadi proses tawar-menawar. Tetapi bila tidak ada kesepakatan maka sawi berhak menjual ikan kepada pengumpul ikan lain, dengan ketentuan pada saat itu nelayan sawi sedang tidak memiliki utang kepada pengumpul ikan tersebut. Hal ini merupakan hal yang dapat dimaklumi karena mayoritas sawi pemancing dari setiap pengumpul ikan / punggawa masih memiliki hubungan keluarga.
Luasnya wilayah mata pencaharian nelayan tidak menjamin kehidupan mereka akan berkecukupan. Nelayan pun memiliki masa-masa sulit yang justru lebih sering dialami daripada masa dimana penghasilan mereka melimpah. Masa-masa sulit itu mereka sebut ketika angin kencang dan ombak besar yang selalu terjadi pada setiap musim. Sehingga masa produksi aktif mereka hanya berlangsung sekitar satu sampai tiga bulan dalam setahun. Penghasilan pada masa aktif melaut sering sawi sisihkan sebagian untuk simpanan yang dapat digunakan pada masa sulit. Simpanan itu dapat disimpan kepada punggawa atau disimpan sendiri. Pinjaman yang dilakukan sawi biasanya terjadi ketika simpanan mereka telah habis. Selain itu, pinjaman yang diperoleh sawi dapat dibayar kapan pun mereka mau. Selain menaruh kepercayaan kepada sawi untuk menunggak pinjaman tanpa memberikan bunga, hal itu juga dilakukan karena mereka masih ada hubungan keluarga. Sehingga punggawa tidak khawatir dengan perandaian jika ada sawi yang beniat pergi meninggalkannya.
Punggawa yang dijadikan sebagai tempat meminjam oleh para sawi terkadang merasa terbebani. Sebab punggawa juga mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Punggawa yang memiliki usaha sampingan akan merasa sangat tertolong ketika menghadapi masa-masa sulit. Kesulitan yang dihadapi juga sering kali berbeda-beda, sehingga bila usaha sampingan tak mampu lagi menolong bank akan menjadi tempat lain untuk mengatasi masalah ini. Tetapi kesulitan antara punggawa yang tidak memiliki usaha sampingan dan sawi akan sama. Karena punggawa juga akan mencari pinjaman meskipun dengan tempat yang berbeda. Tidak semua punggawa berani meminjam ke bank, ketidaksanggupan pembayaran perbulan dan harus ada jaminan untuk pinjaman tersebut menjadi alasannya. Kepandaian punggawa dalam mengatasi masa-masa ini sangatlah penting. Untuk tetap dapat mempertahankan keberadaan sawi dan usahanya tetap dapat berjalan.
B. Saran
• Kesulitan ekonomi ternyata tidak hanya dialami oleh nelayan sawi, tetapi juga oleh punggawa. Oleh karena itu, hendaknya kita tidak terlalu mengeneralisasikan bahwa kesulitan ekonomi hanya dirasakan oleh nelayan sawi. Meskipun pada umumnya kecenderungan yang sering ditemui seperti itu. Namun punggawa juga tidak jarang mengalami kesulitan ekonomi yang serupa.
• Hendaknya pemerintah daerah setempat dapat membuat program untuk mengatasi masa sulit yang sering dirasakan oleh nelayan punggawa-sawi.



DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syahriati. 1993. Sistem Upacara Maudu Dalam Kehidupan Masyarakat Kelurahan Pa’biringa Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto (Skripsi). Makasssar : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Irawan, Prasetya. 2007. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok : Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. Yogyakarta : LKiS
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Salman, Darmawan. 2006. Jagad Maritim. Makassar : Ininnawa



(Tulisan ini merupakan Laporan Hasil Penelitian dalam mata kuliah praktek lapang Metode Penelitian Antropologi (MPA) pada awal tahun 2008. Laporan ini dibuat oleh : Yulidar Nalurita)

PENGOLAHAN IKAN DENGAN CARA PENGGARAMAN DAN PENDINGINAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai Negara bahari, Indonesia dilimpahi dengan potensi sumber daya laut, tidak terkecuali dalam wilayah perairan Sulawesi. Potensi tersebut sangat beragam dalam jumlah yang besar, salah satu dari sumber daya laut yang menjadi kekayaan Indonesia adalah ikan. Ikan adalah satu diantara bahan makanan protein yang paling mudah mengalami pembusukan. Pembusukan ikan terjadi setelah ikan ditangkap atau mati, dimana pembusukan dapat menyebabkan perubahan dalam bau dan rasa yang berakibat menurunnya mutu ikan. Oleh karena itu, sangat diperlukan tindakan yang tepat didalam pencegahan pembusukan tersebut, dimana mulai dari saat penangkapan sampai tiba ditangan konsumen. Tindakan tersebut berupa pengolahan atau pengawetan seperti pendinginan dan penggaraman.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas ikan sesudah ditangkap yaitu jumlah bakteri yang terdapat pada ikan. Secara alami, ikan mengandung bakteri pada bagian kulit, insang dan isi perut. Adanya luka dan lendir pada permukaan kulit juga menyebabakan pertumbuhan bakteri. Dengan berkembangnya bakteri pada tubuh ikan sehingga menyebabkan terjadinya pembusukan. Dengan tindakan pengolahan atau pengawetan berupa pendinginan dan penggaraman maka dapat menghambat proses pertumbuhan bakteri sehingga dapat memperlambat pembusukan.
Pengolahan ikan dengan pendinginan merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi pembusukan pada ikan, bila dilakukan secepat mungkin dan terus dijaga dalam keadaan dingin serta ditangani dengan hati-hati. Pengolahan ikan dengan pendinginan efisien dilakukan oleh nelayan disamping biaya yang digunakan tidak begitu besar juga dapat dilakukan dengan mudah. Tujuan pendinginan ialah untuk memperpanjang daya simpan ikan agar tidak cepat membusuk baik selama penangkapan, pengangkutan maupun penyimpanan sementara sebelum diolah menjadi produk lain.
Pengolahan ikan dengan pendinginan yaitu mendinginkan ikan secepat mungkin pada suhu yang rendah tetapi tidak sampai membeku. Pendinginan tidak dapat menghentikan pembusukan, akan tetapi makin rendah suhu, maka makin lambat proses pembusukan karena bakteri yang terdapat pada ikan semakin banyak dikurangi. Pengolahan ikan melalui pendinginan dapat dilakukan dengan menggunakan es. Es yang digunakan dalam bentuk hancuran. Selain menggunakan es untuk pendinginan dapat dilakukan dengan menggunakan air dingin atau air laut.
Selain pengolahan ikan dengan pendinginan juga dapat dilakukan dengan penggaraman. Kegiatan pengolahan ini efektif dilakukan oleh nelayan karena bahan utama yang digunakan sangat mudah didapatkan dan membutuhkan biaya yang sangat murah. Pengolahan ikan dengan penggaraman merupakan suatu rangkaian proses pengawetan ikan dengan cara mencampurkan garam dengan ikan baik dalam bentuk kristal maupun larutan garam. Garam yang dicampurkan dengan ikan akan menyerap kandungan air dalam tubuh ikan sehingga kegiatan metabolisme bakteri didalam tubuh ikan akan dapat dihambat atau dihentikan.( Masyamsir, 2001)
Dengan demikian untuk menghambat terjadinya pembusukan pada ikan dapat dilakukan dengan Pengolahan ikan dengan cara pendinginan dan penggaraman

B. Rumusan Masalah
1. Apa tujuan dilakukan pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan ?
2. Bagaimana proses pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan ?
3. Faktor apa yang mempengaruhi proses pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tujuan dilakukan pengolahan ikan dengan penggaraman dan pendinginan.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan.
3. Untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi proses pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan.

D. Kerangka Konseptual
Pengolahan Hasil Perikanan adalah semua kegiatan setelah penangkapan/pemanenan ikan untuk menghasilkan produk terakhir dari ikan termasuk biota perairan lainnya yang ditangani atau diolah untuk dijadikan ikan segar dan olahan lainnya yang digunakan untuk konsumsi manusia meliputi penanganan, pengumpulan, pengemasan, penyimpanan, dan pendistribusian
Penggaraman adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengawetkan produk hasil perikanan dengan menggunakan garam. Garam yang digunakan adalah jenis garam dapur (NaCl), baik berupa kristal maupun larutan. (Budiman, 2004)
Pendinginan ikan merupakan salah satu proses yang umum digunakan untuk mengatasi masalah pembusukan ikan, baik selama penangkapan, pengangkutan maupun penyimpanan sementara sebelum diolah menjadi produk lain (Masyamsir, 2001).
Pendinginan adalah cara pengolahan ikan yang paling efektif untuk mengurangi pembusukan bila dilakukan secepat mungkin dan terus dijaga dalam keadaan dingin serta ditangani dengan higienis dan hati-hati. Pendinginan tidak dapat menghentikan pembusukan, akan tetapi makin rendah suhu, makin lambat proses pembusukan karena bakteri semakin banyak dikurangi dan aktivitas enzim semakin terhambat.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif
2. Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian tentang pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan dilaksanakan pada tanggal 20-22 maret 2008, bertempat di kelurahan Pabiringa, Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto
3. Kriteria Informan
Kriteria informan pada penelitian ini yakni orang yang melakukan pengolahan ikan terutama pada pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan. Jumlah informan yang diwawancarai yaitu tiga orang.
4. Tehnik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah tehnik pengumpulan data melalui pengamatan langsung dilokasi penelitian
b. Wawancara
Wawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab langsung dengan informan. Wawancara ini dilakukan dengan wawancara mendalam dan wawancara terstruktur. Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam yaitu mengenai proses pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan.
c. Studi literatur
Studi literatur adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui buku-buku atau literatur yang dijadikan sebagai referensi.
5. Jenis dan analisis data
Data primer yaitu data yang diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara dengan informan.
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisa secara kualitatif yang mana dipaparkan secara deskriptif. Salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah deskriptif dimana data yang dikumpulkan berupa kata-kata gambaran dan bukan berupa angka-angka.(Moleong, 2006)


BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis Dan Keadaan Alam
Kelurahan Pabiringa adalah satu kelurahan yang ada diwilayah Kecamatan Binamu, yang letaknya sekitar 3 Km dari kota Kabupaten Jeneponto. Lokasi penelitian adalah di kelurahan Pabiringa, lingkungan Tarrusampe Timur.
Keadaan cuaca (musim) diperkirakan bulan November sampai bulan Maret merupakan musim penghujan, sedangkan pada bulan April sampai bulan Oktober adalah musim Kemarau. Kelurahan Pabiringa merupakan wilayah atau daerah tropis yang kering. Struktur fisik tanah dalam wilayah kelurahan Pabiringa umumnya terdiri dari tanah dataran rendah yang merupakan daerah pantai dan tanahnya berpasir.
Kelurahan Pabiringa ini mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Panaikang
- Sebalah selatan berbatasan dengan Kelurahan Balang
- Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Monro-monro
- Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Kassi-kassi. (Nuraeni, 2006)
B. Sarana Dan Prasarana
Sarana
Adapun sarana yang digunakan adalah perahu, alat tangkap berupa pancing, rengge, peti ikan yang bahannya terbuat dari gabus yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan pendinginan dengan bahan es.
Prasarana
a. Jalan
Jalan yang dimiliki kelurahan pabiringa, lingkungan tanrusampe timur, kecamatan binamo sudah cukup memadai, dimana hasil perikanan dapat disalurkan keluar daerah.

b. Mesjid
Mesjid terdiri atas dua buah. Masyarakat dikelurahan pabiringa semuanya menganut agama Islam.
c. Sekolah
Di Kelurahan Pabiringa, Lingkungan Tanrussampe timur terdapat sekolah dasar.
C. Kondisi Sosial Budaya
- Keadaan penduduk menurut agama
Pada dasarnya masyarakat memiliki kebutuhana tertentu untuk kelangsungan hidupnya. Kebutuhan tersebut bukan hanya bersifat jasmani tetapi juga bersifat rohani,dengan memeluk suatu agama, merupakan pedoman hidup yang memberikan ketenangan dan kedamaian diantara pemeluknya,kebutuhan rohani seseorang sangat menentukan ketentraman suatu masyarakat .Dimana.pada masyarakat Tanrussampe timur semuanya menganut agama Islam. (Nuraeni,2006)
- Keadaan penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian.
Di Kelurahan Pabiringa, lingkungan Tanrussampe Timur terdapat beberapa jenis mata pencaharian yang digeluti masyarakat setempat seperti :
1. Pegawai Negeri Sipil
2. Nelayan
3. Peternak
4. Pedagang dan lain-lain
Jenis mata pencaharian yang paling dominan pada masyarakat di Kelurahan Pabiringa, lingkungan Tanrussampe Timur yaitu nelayan.



BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Ikan merupakan satu diantara bahan makanan protein yang paling mudah mengalami pembusukan. Dimana pembusukan dapat menyebabkan perubahan dalam bau dan rasa yang berakibat menurunnya mutu ikan. Oleh karena itu, sangat diperlukan tindakan yang tepat didalam pencegahan pembusukan tersebut, mulai dari saat penangkapan sampai tiba ditangan konsumen. Tindakan yang dimaksud ialah berupa pengolahan seperti penggaraman dan pendinginan. (Mulyadi, 2005)

A. PENGOLAHAN IKAN DENGAN CARA PENGGARAMAN.
Pengolahan ikan dengan cara penggaraman pada masyarakat Tanrussampe Timur menyebutnya dengan istilah pengasinan. Pada umumnya mereka melakukan pengolahan ini tidak untuk dijual melainkan hanya untuk dikonsumsi sebagai lauk.
Ini diperjelas oleh informan HJ. Salma:
“kita disini kalau mengasinkan ikan, untuk dimakanji saja tidak dijualki. Begitu semua orang disini, tidak ada yang jual ikan asing. Musim ikanpi juga mengasinkanka ikan karena banyak ikan”

Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh informan Hj Salma dapat dikatakan bahwa ikan yang diolah dengan cara penggaraman dilakukan pada saat musim ikan yakni pada bulan November sampai pada bulan Maret. Dimana pada saat itu hasil tangkapan yang diperoleh nelayan cukup banyak. Jenis-jenis ikan yang biasa diasinkan yaitu ikan tembang, layang, katambak, kembung, cakalang.
1. Proses Pengolahan Ikan Dengan Cara Penggaraman
a. Persiapan
Dari dua informan yang diwawancarai yaitu Hj Salma dan Dg Tinno, melakukan persiapan yang sama, yaitu antara lain :
- Penyediaan bahan baku
Ikan yang akan diasinkan tidak dilakukan pemisahan berdasarkan jenis, ukuran, dan tingkat kesegaran ikan,tetapi semua jenis ikan yang akan diasinkan dicampur. Kemudian penyediaan garam, garam yang digunakan adalah garam kasar karena garam kasar lebih murah dibandingkan dengan garam halus. Namun garam halus lebih efisien digunakan, ini disebabakan karena proses penyerapannya lebih cepat dibandingkan dengan garam kasar. Harga garam kasar berkisar Rp 1000, 3liter, sedangkan harga garam halus Rp2500/bungkus.
Tingkat penggunaan garam tergantung dari orang yang melakukannya, dimana dari dua informan yang diwawancarai berbeda yaitu informan pertama Hj. Salma bahwa:
“Kalau besar itu ikan banyak juga dikasikanki garam tapi kalau ikan kecil sedikit saja dikasi garam”
Sedangkan informan kedua Dg. Tinno :
“Mau-mauku, kalau moka kesiasin sekaliki banyak saya kasikanki garam , biasa juga sedikitji sekasi garam supaya tidak terlalu asinki ikannya”
Dari dua informan tersebut, tingkat penggunan garamnya berlainan dimana menurut informan Hj salma bahwa tingkat penggunaan garam yakni berdasarkan ukuran ikan yang akan digarami, misalnya pada ikan yang berukuran basar seperti ikan layang besar, tongkol, kembung maka garam yang digunakan banyak sedangkan pada ikan tembang, layang, katambak hanya menggunakan sedikit garam. Sedangkan menurut informan Dg tinno banyaknya garam yang digunakan tergantung pada tingkat keasinan yang diinginkannya.
- Penyediaan peralatan
Wadah yang digunakan untuk proses penggaraman yaitu berupa baskom yang terbuat dari bahan plastik dengan ukuran baskom tergantung dari banyaknya ikan yang akan digarami.
Pisau, dimana pisau ini digunakan untuk membuka sisik, isi perut dan insang pada ikan yang akan digarami dan keranjang plastik untuk mengangkut ikan sebelum dan setelah proses penggaraman.
- Penanganan ikan sebelum digarami
Pada ikan yang berukuran besar seperti ikan layang besar, tongkol, ikan kembung, maka sebelum digarami terlebih dahulu dilakukan pembuangan isi perut, sisik, dan insang, agar ikan tidak busuk kemudian ikan-ikan tersebut dibelah. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses penyerapan garam pada ikan tersebut. Sedangkan pada ikan yang berukuran sedang seperti ikan tembang, layang, dan katambak tidak dibelah karena dagingnya tipis jadi proses penyerapan garamnya bisa meresap meskipun tidak dibelah, cukup hanya dibuka sisiknya, isi perut dan insangnya, sedangkan informan Dg Tinno, selain membuang isi perut, sisik , insang juga membuang ekor pada ikan yang akan digarami.
Setelah dilakukan pembungan sisik, isi perut dan insang pada ikan, maka ikan-ikan tersebut dicuci dengan menggunakan air bersih, biasanya empat kali sampai bersih.
b. Tahapan penggaraman ikan
Tahapan penggaraman ikan yang dilakukan oleh informan Hj Salma, yaitu antara lain :
- Baskom yang akan digunakan untuk proses penggaraman, terlebih dahulu ditaburi garam didasar baskom tersebut, ini dimaksudkan sebagai alas ikan pada saat proses penggaraman.
- Kemudian ikan akan disusun diatas garam tadi. Diatas lapisan ikan yang sudah tersusun, ditaburi kembali garam secukupnya.
- Setiap lapisan ikan selalu diselingi oleh lapisan garam. Pada lapisan atas, diberi garam secukupnya supaya tidak dihinggapi lalat.
- Setelah ikan tersebut selesai diberi garam, maka diberi sedikit air supaya garamnya cepat hancur.
- Baskom tersebut ditutup dengan menggunakan penutup panci sesuai dengan ukuran baskom yang digunakan.
- Lamanya proses penggaraman tergantung pada jenis ikan seperti ikan layang besar, tongkol, ikan kembung berlangsung selama 5-6 jam sedangkan pada jenis ikan tembang, layang, katambak berlangsung selama 2-3 jam.
- Selesainya proses penggaraman, ikan-ikan tersebut diangkat dari baskom tersebut kemudian dicuci sampai dua kali dan dibersihkan dari kotoran yang menempel dan selanjutnya ikan-ikan tersebut dikeringkan.
Lain halnya dengan informan Dg Tinno, informan ini kadang-kadang melakukan tahap penggaraman dengan menggunakan garam dalam bentuk larutan,
Dimana dalam pernyataannya :
“Kalau banyak seasinkan ikan , sebikinkan dulu air garam dibaskom-baskom plastik, baru dikesi masukmi itu ikan didalamnya. Tapi jarangji begitu karena kalau mengasinkanka ikan tasedikitji ta’10ji saja ikan. Lebih sering langsung setaburi saja garam diatasnya ikan”
Dari pernyataan informan tersebut dapat dikatakan bahwa melakukan pengolahan ikan dengan cara penggaraman dapat dilakukan dengan dua cara yaitu bisa menggunakan garam dalam bentuk kristal maupun dalam bentuk larutan garam.
Tahapan penggaraman dalam bentuk larutan dimulai dengan membuat larutan garam dalam baskom yang akan digunakan untuk penggaraman, setelah itu ikan yang akan digarami dimasukkan kedalam larutan garam tersebut, kemudian ikan tersebut dibiarkan hingga 3-4 jam . Terakhir ikan-ikan tersebut dicuci kemudian dikeringkan.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyerapan Garam Pada Ikan
Kecepatan proses penyerapan garam kedalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut :
- Kesegaran tubuh ikan
Semakin segar ikan, maka proses penyerapan garam kadalam tubuh ikan akan semakin lambat.
- Ketebalan daging ikan
Semakin tebal daging ikan maka proses penyerapan garam kedalan tubuh ikan akan semakin lambat.
- Garam yang digunakan
Garam yang halus akan lebih cepat meresap kedalam tubuh ikan.

3. Proses Pengeringan Ikan
Proses pengeringan ikan menggunakan panas sinar matahari. Ikan-ikan itu dijemur dengan menggunakan “pattapi”. Lamanya panjemuran berlangsung selama 3 hari, dimana dalam satu hari berlangsung selama 7 jam/hari. Kecepatan pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketebalan ikan dan ukuran ikan, dimana semakin tebal ikan semakin lambat untuk kering ,semakin besar ukuran ikan semakin lambat kering.
Setelah ikan-ikan tersebut kering maka akan menimbulkan perubahan seperti warna ikan akan berubah manjadi warna kecoklat-coklatan, daging ikan menjadi keras dan kaku serta tubuh ikan mengecil karena sudah kering. Perubahan tersebut disebabakan karena garamnya sudah meresap kedalam daging ikan. Ikan yang sudah diolah dengan cara penggaraman dan pengeringan dapat bertahan hingga 2 bulan.
Jika musim hujan, jarang dilakukan pengolahan ikan dengan cara penggaraman karena proses pengeringannya sangat susah untuk kering, dimana saat musim hujan pengeringan ikan berlangsung selama 7 hari itupun belum tentu kering. Ikan yang tidak kering dalam waktu yang cukup lama dapat menimbulkan ulat yang hidup didalam daging ikan.

B. PENGOLAHAN IKAN DENGAN CARA PENDINGINAN
Pengolahan ikan dengan cara pendinginan pada masyarakat nelayan di Tanrussampe Timur hanya dilakukan oleh pengumpul ikan. Dimana menurut informan Dg Serre terdapat 6 nelayan yang berprofesi sebagai pengumpul ikan, diantaranya Dg Sapa. Berdasarkan dari keterangan informan Dg Sapa, bahwa ikan yang akan diolah dengan pendinginan akan dijual kembali diluar daerah seperti Makassar, Bulukumba. Pengolahan ikan dengan cara pendinginan dilakukan dengan menggunakan bahan dari es. Dimana es dibuat sendiri oleh pengumpul ikan tersebut dengan menggunakan plastik yang berukuran sekitar 10 cm. Tujuan informan tersebut melakukan pendinginan untuk mencegah terjadinya pembusukan pada ikan sehingga kesegaran ikan dapat dipertahankan 5sampai 6 hari. Jenis-jenis ikan yang biasa diolah dengan cara pendinginan yaitu ikan masidung (ikan putih), layang, tembang, katambak dan lain-lain.
1. Proses Pengolahan Ikan Dengan Cara Pendinginan.
a. Persiapan
- Penyediaan peralatan dan bahan baku
Wadah yang digunakan untuk proses pendinginan yaitu berupa peti yang bahannya terbuat dari gabus, dengan ukuran yang bervariasi. Peti tersebut diperoleh dengan membelinya di Makassar, Bulukumba dengan harga yang bervariasi pula yaitu berkisar Rp 30.000-50.000.
Es yang digunakan untuk pendinginan yaitu es yang berbentuk tabung dengan ukuran panjang sekitar 10 cm.
- Penanganan ikan sebelum di es
Sebelum ikan-ikan tersebut di es, terlebih dahulu ikan-ikan tersebut dicuci dengan menggunakan air bersih namun kadang juga dicuci dengan menggunakan air laut.
b. Tahapan pendinginan ikan
- Peti yang digunakan untuk pendinginan, terlebih dahulu dicuci sebelum ikan-ikan dimasukkan dalam peti terebut, pencucian dilakukan sebanyak empat kali sampai bersih dengan menggunakan sabun.
- Es yang digunakan untuk pendinginan terlebih dahulu dihancurkan dengan menggunakan kayu. Es yang dipakai dalam bentuk hancuran. Semakain kecil ukuran es semakin baik karena tidak melukai ikan, tetapi akan semakin banyak es yang dibutuhkan karena es semakian mudah meleleh. Jumlah es yang digunakan tergantung dari banyaknya ikan yang akan didinginkan.
- Setelah peti tersebut dicuci, didasar peti ditaburi dengan hancuran es, ini dimaksudkan agar ikan tidak bersentuhan pada dasar peti, begitupula pada bagian samping peti.
- Selanjutnya diatas lapisan es tadi, ikan disusun secara teratur. Ikan dengan es disusun selapis demi selapis dalam peti tersebut.
- Pada lapisan ikan yang paling atas ditutupi dengan hancuran es, lalu peti tersebut ditutup.

2. Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan pada ikan
Menurut keterangan informan Dg Sapa bahwa yang mempengaruhi pendinginan pada ikan yaitu ukuran es yang digunakan, semakain kecil ukuran es semakin baik karena tidak melukai ikan, tetapi akan semakin banyak es yang dibutuhkan karena es semakian mudah meleleh.
Dengan demikian, pengolahan ikan dengan cara pendinginan sangat efisien dilakukan untuk mengahambat terjadinya pembusukan pada ikan. Kelebihan pengolahan ikan dengan cara pendinginan yaitu sifat asli ikan dapat dipertahankan (tekstur, rasa, bau).

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN DARI HASIL
Masyarakat Tanrussampe Timur melakukan pengolahan ikan dengan cara penggaraman dan pendinginan untuk menghambat terjadinya pembusukan pada ikan.
Pengolahan ikan dengan penggaraman merupakan suatu rangkaian proses pengolahan ikan dengan cara mencampurkan garam dengan ikan baik dalam bentuk kristal maupun dalam bentuk larutan..
Kecepatan proses penyerapan garam kedalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesegaran tubuh ikan, garam yang digunakan, dan ketebalan daging ikan.
Pengolahan ikan dengan pendinginan yaitu mendinginkan ikan secepat mungkin pada suhu yang rendah tetapi tidak sampai membeku, makin rendah suhu, maka makin lambat proses pembusukan karena bakteri yang terdapat pada ikan semakin banyak dikurangi. Pengolahan ikan melalui pendinginan dapat dilakukan dengan menggunakan es. Es yang digunakan dalam bentuk hancuran.
Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan yaitu ukuran es yang digunakan, semakain kecil ukuran es semakin baik karena tidak melukai ikan, tetapi akan semakin banyak es yang dibutuhkan karena es semakian mudah meleleh.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Syarif. 2004. Teknik Penggaraman Dan Pengeringan. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan

Hadiwiyoto, Suwedo. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan jilid 1. Liberty. Yogyakarta

Masyamsir. 2001. Penanganan Hasil Perikanan. Departemen Pendidikan Nasional Proyek Pengembangan Sistem Dan Standar Pengelolaan SMK Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta

Nuraeni. 2006. Hubungan Kerja Petani Rumput Laut (Studi Kasus Di Kelurahan Pabiringa Kec. Binamu Kab. Jeneponto). Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik – UNHAS. Makassar

S, Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. Raja Grafindo Persada. Jakarta


(Tulisan ini adalah Laporan Hasil Penelitian mata kuliah praktek lapang Metode Penelitian Antropologi (MPA) tahun 2008. Oleh : A. Ramlah Adam)