BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap jenis pekerjaan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, begitu pula dengan nelayan. Meskipun dapat dikatakan sumber daya alam yang ada di laut merupakan sumber daya yang paling kaya, namun hal tersebut tidak menjadi jaminan. Justru sebaliknya, nelayan selalu dikaitkan dengan kemiskinan khususnya pada kelompok pekerja atau sawi. Perilaku konsumtif disebut-sebut menjadi salah satu faktor penyebabnya. Maksud dari perilaku konsumtif itu sendiri, ketika penghasilan melimpah maka sawi akan bersikap boros dengan menghabiskan penghasilannya tersebut. Namun hal ini sebenarnya bukanlah penyebab tunggal, ini hanya bentuk pemuasan psikologi karena terlalu lama dan sering dihadapkan pada masa sulit. Tetapi ada juga sawi yang menggunakan sebagian penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian lagi disimpan agar dapat digunakan sewaktu-waktu.
Dalam masyarakat nelayan terdapat hubungan patron-klien antara pemilik modal / pemimpin produksi dengan pekerja (punggawa-sawi). Bentuk hubungan patron-klien ini dapat berupa pertukaran material dan jasa. Hubungan ini sebenarnya dapat melahirkan ketergantungan sawi kepada punggawa. Apalagi ketika sawi mengalami masa-masa sulit maka yang akan didatangi adalah punggawa. Sebab hampir sebagian besar sawi tidak memiliki sampingan, hanya mengandalkan bantuan dari punggawa. Sehingga yang akan berlangsung berikutnya, punggawa sebagai yang diikuti dan sawi sebagai pengikutnya.
Selain itu kenyataannya, hubungan patron-klien ini terjadi secara tidak seimbang. Dimana sawi telah lebih dulu memiliki utang budi saat pertama kali diterima bekerja oleh punggawa. Ditambah lagi ketika hampir segala macam bentuk kebutuhan ekonomi sawi dipenuhi oleh punggawa, maka sawi hanya mampu membayarnya dengan tenaga, kepatuhan dan kesetiaan kepada punggawa. Namun pemenuhan kebutuhan tersebut sebenarnya merupakan salah satu cara untuk membuat sawi merasa memiliki keterikatan dengan punggawa. Sehingga kesetiaan dan keutuhan kelompok sawi tetap terjaga, meskipun punggawa harus mengeluarkan anggaran tersendiri untuk sawi yang membutuhkan bantuan. Tanpa disadari sawi juga tidak akan keberatan untuk setia dan patuh bahkan akan cenderung merasa senang karena segala bentuk resiko ekonomi akan ditanggulangi oleh punggawa.
Tetapi tidak selamanya punggawa memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik daripada sawi. Ketika para nelayan mengalami masa-masa sulit, dimana perolehan hasil tangkapan tidak mencukupi maka punggawa pun jelas akan mengalami kesulitan. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sawi, untuk memenuhi kebutuhannya sekalipun akan sulit rasanya. Apalagi bila bagi hasil yang dilakukan ternyata tidak mencukupi, beruntunglah bila punggawa tersebut memiliki usaha sampingan / simpanan maka mungkin masih dapat digunakan atau mungkin juga punggawa akan mencari pinjaman modal keluar. Tetapi bila dalam keadaan terdesak tidak menutup kemungkinan jika punggawa tersebut terpaksa menjadi sawi. Sedangkan sawi, bila mereka kesusahan dapat meminta bantuan ke punggawa. Namun jika punggawa tidak sanggup, apakah mereka punya cara lain untuk dapat memperoleh pinjaman? Begitu pula dengan punggawa yang mengalami kesulitan, kemana punggawa harus meminta bantuan? Oleh karena itulah pada kesempatan kali ini peneliti ingin meneliti mengenai “Strategi Mengatasi Masa Sulit Bagi Nelayan Punggawa-Sawi”.
B. Rumusan Masalah
Masa sulit yang kerap dialami oleh mereka yang berprofesi sebagai nelayan terkadang mengharuskan mereka berusaha lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebenarnya masalah seperti itu hampir dirasakan oleh semua jenis pekerjaan, misalnya petani yang juga sering mengalami paceklik. Namun, pekerjaan-pekerjaan tersebut masing-masing mempunyai masa-masa sulit yang berbeda-beda. Begitu pula dengan para nelayan, mereka memiliki masa sulit yang tidak sama dengan yang lain. Berdasarkan uraian sebelumnya di atas, maka peneliti akan memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
1. Kapan nelayan punggawa-sawi mengalami masa-masa sulit
2. Bagaimana strategi punggawa-sawi dalam mengatasi masa sulit untuk memenuhi kebutuhannya
C. Tujuan Penelitian
Dengan bertolak pada penjelasan sebelumnya, maka berikutnya peneliti ingin mengemukakan tujuan dari penelitian ini. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain :
1. Untuk mengetahui masa-masa yang dianggap dan sering dirasakan oleh nelayan sebagai masa sulit.
2. Untuk mengetahui cara atau strategi yang digunakan dalam memenuhi kebutuhannya pada masa sulit.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentu saja terdapat manfaat yang hendak diperoleh. Ada dua macam manfaat penelitian, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Begitu pula pada penelitian ini, manfaatnya antara lain sebagai berikut :
o Manfaat teoritis, dapat memberi masukan kepada antropologi tentang model atau bentuk adaptasi dalam bentuk kekinian.
o Manfaat praktisnya, ada dua yaitu sebagai berikut :
- Dapat menjadi landasan bagi pemerintah setempat untuk membuat program penyelesaian masa sulit.
- Pemerintah hendaknya memberikan tindakan tegas terhadap penggunaan alat tangkap yang digunakan nelayan dan bersifat destruktif / merusak.
E. Kerangka Konseptual
Masalah yang menjadi fokus penelitian mengenai masa sulit yang sering dirasakan oleh nelayan punggawa-sawi dalam kehidupan sehari-hari. Kesulitan ekonomi lebih sering dialami oleh nelayan buruh atau sawi. Kondisi cuaca yang tidak menentu sering menjadi penghambat utama dalam melaut, sehingga seringkali tidak memperoleh penghasilan.
Adanya kecenderungan nelayan berperilaku konsumtif ketika memperoleh penghasilan yang berlimpah juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi. Namun kecenderungan ini hanya merupakan “kompensasi psikologis” dari kesengsaraan hidup yang cukup lama dirasakan. Tetapi penghasilan yang melimpah tidak selamanya digunakan untuk memenuhi selera konsumtif. Sebab masih ada pengendalian diri dalam bentuk menyisihkan penghasilannya untuk simpanan (Kusnadi, 2002).
Selain itu, keberadaan punggawa sangat membantu sawi ketika menghadapi masalah dalam memenuhi kebutuhannya pada masa sulit. Sebab hal seperti itu telah menjadi hal yang lazim terjadi pada masyarakat nelayan. Namun, akan menjadi kendala pula bagi punggawa untuk memenuhi kebutuhan sawinya saat ia juga mengalami masalah yang sama. Dalam hal ini punggawa tentu saja memiliki cara yang berbeda dalam mengatasinya. Simpanan atau penghasilan dari usaha lain mungkin dapat menjadi solusi bagi punggawa.
Tetapi kapan masa sulit yang sebenarnya sering dirasakan nelayan punggawa-sawi. Apakah sawi memiliki pandangan yang berbeda mengenai masa sulit yang dirasakan dengan punggawa? Bila pandangannya, apakah mereka punya cara atau strategi yang sama dalam mengatasi masa sulitnya? Jika berbeda bagaimana cara sawi menghadapinya? Dan bagaimana pula strategi punggawa mengatasinya?
F. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ada beberapa hal yang harus diperhatikan, hal-hal tersebut adalah jenis penelitian, teknik penentuan informan, teknik pengumpulan data, serta jenis dan analisis data.
1. Jenis Penelitian
Untuk penelitian kali ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.
2. Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan, dimulai dari informan kunci yang menunjukkan informan ahli. Dimana informan kunci dapat membantu untuk menemukan informan ahli. Sehingga dapat memperoleh data-data yang sesuai dan dibutuhkan dalam proses penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Setelah menemukan informan ahli, maka proses berikutnya adalah pengumpulan data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan anatara lain sebagai berikut :
1. Observasi ; pengamatan yang dilakukan tertuju kepada situasi dan kondisi tempat tinggal informan yang dapat berhubungan dengan data atau informasi yang diperoleh.
2. Wawancara mendalam (indepth interview) ; dalam wawancara, peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur. Menggunakan draft / pedoman wawancara namun dapat menghasilkan pertanyaan lanjutan yang lebih mendalam mengenai data yang dibutuhkan. Dalam proses ini peneliti membutuhkan informan, nelayan yang memiliki modal, mempunyai alat tangkap atau pemimpin produksi / punggawa dan nelayan buruh / sawi.
3. Kajian pustaka ; kajian pustaka sangat dibutuhkan dalam penelitian, utamanya dalam pembuatan proposal dan penulisan laporan. Selain itu, dalam mengolah data diperlukan literatur yang relevan dengan masalah yang dikaji oleh peneliti.
4. Jenis dan Analisis Data
Informasi atau data yang diperoleh baik dari informan kunci maupun informan ahli kemudian akan dibagi menjadi data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan data pangkal yang dapat diperoleh dari informan kunci mengenai kondisi lokasi penelitian. Termasuk di dalamnya informasi mengenai informan ahli. Sedangkan data primer merupakan data yang diperoleh dari informan ahli yang dibutuhkan dalam masalah penelitian.
Proses selanjutnya adalah analisis data, dimana pada proses ini diperlukan beberapa tahap. Langkah pertama merupakan langkah untuk memilah-milah antara data yang menunjang dan tidak menunjang dengan fokus penelitian. Kemudian memeriksa antara data dengan catatan lapangan agar dapat diketahui data atau informasi yang telah diperoleh selama di lapangan. Selanjutnya mengingat kembali tanggapan informan ketika wawancara sedang berlangsung, sebab dapat mempengaruhi data yang diberikan. Begitu juga dengan pengaruh kehadiran orang lain yang akan berdampak pada kelancaran wawancara dengan informan. Langkah berikutnya memperhatikan data yang diperoleh baik itu pernyataan langsung maupun kesimpulan tidak langsung yang berhubungan dengan fokus penelitian. Lalu langkah terakhir adalah dengan menemukan keabsahan data melalui triangulasi. Dimana yang dilakukan dalam proses ini adalah mencocokkan antara data dari informan yang satu dengan data dari informan yang lain (Moleong, 2002).
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI
Lokasi penelitian berada di Desa Tanru Sampe Timur, Kelurahan Pa’biringa, Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Berikut merupakan uraian singkat mengenai letak geografis dan keadaan alam, sarana dan prasarana serta kondisi sosial budayanya.
A. Letak Geografis Dan Keadaan Alam
Salah satu lingkungan dari delapan lingkungan yang berada di kelurahan Pa’biringa adalah desa Tanru Sampe. Tujuh lingkungan lainnya antara lain Pattontongan, Ujung Loe, Tamarunang, Jeneponto, Monro-monro, Tarusang, dan Bonto-bonto. Batas-batas geografis kelurahan Pa’biringa sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Balang, sebelah selatan berbatasan Laut Flores, sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Empoang dan sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Tamalatea.
Suhu di daerah tersebut berkisar antara 26°-28° C, yang beriklim tropis. Kondisi tanahnya berpasir dan berlumpur, meskipun cocok untuk persawahan namun keadaannya gersang bahkan terlihat tandus.
B. Sarana Dan Prasarana
Desa Tanru Sampe memiliki sebuah sekolah dasar (SD) dan dua bangunan mesjid. Selain itu, terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berada di pelabuhan. Pelabuhan itu sendiri belum diresmikan, tetapi sudah sering digunakan oleh masyarakat nelayan setempat. Keberadaan TPI ini juga didukung oleh adanya pabrik es balok.
Daerah ini dapat dikatakan cukup maju, karena akses transportasi untuk ke kota sangat mudah. Jalan-jalan yang beraspal sangat membantu mobil-mobil angkutan untuk dapat beroperasi di desa ini.
C. Kondisi Sosial Budaya
Meskipun akses ke kota semakin mudah karena adanya alat transportasi, namun tidak membuat masyarakat desa Tanru Sampe menjadi bersifat individualis. Mereka tetap bergotong royong dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam acara-acara tertentu maupun dalam kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Perbedaan status antara laki-laki dan perempuan juga masih sangat tampak, utamanya dalam pembagian kerja. Perempuan sangat jarang dilibatkan dalam kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan perikanan. Hal ini sangat tampak pada pagi atau sore hari ketika para nelayan pulang melaut atau sedang memperbaiki alat tangkap atau pancing mereka. Meskipun ada, hanya berhubungan dengan rumput laut. Mayoritas berdagang dengan cara membuka warung kecil di sekitar rumah mereka. Pada pagi hari perempuan lebih banyak berada di dapur dan pada sore hari mereka lebih sering berkumpul ketika sedang tidak ada aktifitas.
Adanya dua bangunan mesjid di daerah tersebut menandakan ketaatan mereka dengan agama. Kebiasaan-kebiasaan mereka dalam perayaan hari-hari besar agama tetap terjaga dan dianggap sebagai ritual yang wajib dilaksanakan. Sebab kepercayaan bila tidak dilakukan maka akan ada kesialan yang dapat menimpa. Misalnya peringatan Maulid, semua keluarga besar wajib melaksanakan maudu sesuai dengan kepercayaan masyarakat Tanru Sampe.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pekerjaan nelayan tidak jauh berbeda dengan pekerjaan lainnya yang memiliki atasan / bos dan bawahan (anak buah). Tetapi dikalangan nelayan ada istilah lain yang sering digunakan yaitu punggawa dan sawi. Di desa Tanru Sampe sendiri, mayoritas nelayannya adalah nelayan pemancing dan nelayan parengge (jaring). Bagi nelayan pemancing, mereka memiliki pengumpul ikan yang juga dapat dikatakan sebagai punggawa, sebab pengumpul ikan tersebut juga sering memberikan modal bagi nelayan pemancing yang membutuhkan. Ada banyak pengumpul ikan dengan sawi-sawi pemancing yang berbeda-beda. Meskipun begitu, dalam proses penjualan hasil tangkapan tidak ada pengumpul ikan yang bermasalah. Sebab masing-masing pengumpul ikan mempunyai sawi pemancing sendiri, dengan ketentuan kepada siapa yang memberikan mereka modal dalam bentuk pinjaman maka mereka harus menjual ikannya kepada orang tersebut. Terkadang dalam proses penjualan, harga yang diberikan oleh punggawa tidak sesuai dengan yang diinginkan sawi. Ketika hal ini terjadi, maka akan ada proses tawar-menawar dengan membandingkan harga jual oleh pengumpul ikan yang lain. Tetapi bila tidak ada kesepakatan sawi berhak menjual ikan pada pengumpul lain, dengan catatan sawi tidak sedang memiliki pinjaman kepada punggawanya. Hal tersebut tentu saja menjadi keringanan bagi sawi, selain itu tidak ada paksaan dari punggawa untuk turun melaut semuanya terserah sawi.
Pinjaman-pinjaman yang sering dilakukan oleh sawi kepada punggawanya tidak lain karena pada saat itu mereka dihadapkan dengan situasi yang sulit. Sekalipun wilayah mata pencaharian nelayan cukup luas, namun hal ini tidak menjamin mereka mendapat penghasilan setiap saat. Justru nelayan cenderung kesusahan untuk memenuhi kebutuhannya karena tidak memperoleh tangkapan, ini dianggap sebagai masa sulit. Kemudian untuk dapat mengatasinya bukan hanya sawi yang harus meminjam tetapi tidak jarang punggawa juga ikut mencari pinjaman, berikut uraiannya.
A. Masa-Masa Sulit
Alat tangkap yang digunakan nelayan pemancing berbeda dengan nelayan parengge (jaring). Nelayan pemancing menggunakan alat pancing yang disebut rawe, sedangkan nelayan parengge menggunakan jaring. Lokasi tangkapan nelayan parengge umumnya lebih jauh dari nelayan pemancing bahkan sampai ke daerah Flores. Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan pemancing bervariasi beberapa diantaranya adalah sunu bone, mosso (kerapu), katamba, masidung dan langa-langa (istilah lokal). Harganya pun bervariasi, yang paling mahal adalah ikan yang ditimbang kiloan seperti sunu bone, kerapu, dan katamba. Sedangkan ikan masidung dijual tetapi tidak ditimbang. Pendapatan dari ikan yang ditimbang hasilnya tidak sedikit, dalam aturan bagi hasilnya maka punggawa akan menerima 15-20% dari harga yang disepakati.
Namun hal tersebut tidak terjadi setiap saat, hanya berlangsung pada satu sampai dua bulan dalam setiap musim. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan yang bernama Dg. Sapa, :
“kita itu nelayan, dalam setahun tidak bisa beroperasi penuh dalam satu musim. Karena nda tentui waktunya, misalnya itu kalo musim timur tetapji juga biasa besar ombak baru keraski angin. Samaji juga kalo musim barat, nda jelek terus cuaca biasa tonji baguski tenangi air laut nda terlalu keraski angin. Cuma memang selama ini lebih seringki dapat cuaca jelek daripada cuaca bagus. Jadi itu hasil tangkapan ikan nda tentui juga, kadang-kadang banyak tapi kadang-kadang juga sedikit tonji. ”
Berdasarkan uraian informan di atas dapat dijelaskan bahwa, ketika sawi tidak memperoleh tangkapan maka tentu saja mereka tidak akan mendapat penghasilan. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya pun mulai terjadi. Selama ini banyak anggapan bahwa masa-masa sulit yang sering dialami nelayan adalah ketika musim barat. Dimana pada musim ini yang lazim terjadi adalah cuaca yang tidak bersahabat diikuti dengan angin kencang dan ombak besar. Namun, ternyata hal tersebut tidak hanya terjadi pada musim barat. Angin kencang dan ombak besar bisa terjadi pada setiap musim, baik itu musim barat ataupun musim timur. Inilah yang paling mempengaruhi nelayan utamanya nelayan sawi pemancing untuk turun melaut. Sekalipun mereka memutuskan untuk melaut tetapi seringkali tidak memperoleh hasil tangkapan. Bila masalah ini terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama maka inilah yang akan menyulitkan kehidupan sawi, sebab mereka tidak memperoleh penghasilan.
Kondisi seperti itu tidak hanya menjadi masalah bagi sawi, tetapi punggawa juga akan ikut kesulitan. Dimana punggawa harus tetap mengeluarkan biaya tanpa ada pemasukan dari sawi. Ketika beberapa sawinya datang untuk meminjam uang, meskipun keberatan punggawanya tentu saja akan memberikan pinjaman. Sebab tidak sedikit dari sawi merupakan kerabat dekat yang masih memiliki hubungan keluarga dengan punggawa. Selain itu, pinjaman yang diminta biasanya tidak terlalu besar (berkisar 50.000-100.000) dibandingkan dengan biaya mesin rusak. Akan semakin bertambah berat ketika punggawa harus memberikan biaya operasional dan sawi tidak memperoleh hasil tangkapan. Dengan situasi rumit yang seperti ini, maka punggawa tentu saja harus pandai dalam mengatasinya. Sebab punggawa harus mengusahakan agar sawi tetap bekerja padanya dan yang paling utama agar punggawa tidak bangkrut karena kehabisan modal.
B. Strategi Mengatasi Masa Sulit
Dalam kehidupan nelayan punggawa-sawi, mereka lebih sering diperhadapkan pada kondisi yang sangat tidak menguntungkan. Menurut salah seorang informan yang bernama Dg. Jumatang :
“itu biasa kalo pergi melaut nda setiap hari. Bukan dibilang musim timur bagus teruski cuaca baru banyak lagi hasil tangkapan, dalam satu tahun itu biar ada musim timur dengan barat paling sering itu dua bulan berturut-turut pergiki mencari. Jadi kalo umpamanya banyakmi hasil tangkapan biasami juga sawi yang simpanki sebagian penghasilannya. Supaya bisa dipake kalo susah meki lagi dapat ikan. Kadang itu nelayan dia titip uang sama kita atau sama punggawanya. Jadi kalo butuhki uang itu dulu simpanannnya na pake. Terus kalo nda adami uangnya baru dikasi pinjaman. Itupun terserah mereka kapan mau dibayar.”
Dari keterangan tersebut dapat dikatakan proses produksi aktif mereka hanya berkisar satu sampai tiga bulan dalam setahun baik dalam musim barat maupun musim timur, itupun sudah termasuk waktu yang cukup lama. Selebihnya hanya tergantun pada kondisi cuaca dan ini menjadi merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi mereka. Sebab dalam sehari sawi belum tentu turun melaut dan ini juga akan berpengaruh kepada pengumpul / punggawa. Ketika nelayan sawi pemancing tidak turun melaut atau tidak memperoleh tangkapan tentu saja mereka tidak memiliki ikan untuk dijual ke pengumpul ikan. Sementara kebutuhannya harus tetap dipenuhi dan ini sudah sering dialami oleh sawi. Sehingga terkadang saat penghasilan sedang melimpah maka sebagian akan mereka sisihkan untuk simpanan yang dapat digunakan sewaktu-waktu. Simpanan sawi ini tidak dalam bentuk tabungan di bank. Tetapi hanya disimpan sendiri atau ada juga yang menitipkan kepada punggawanya. Menurut salah seorang sawi yang bernama Dg. Mu’mang alasan nelayan sawi pemancing tidak menabung di bank
“karena itu biasa kalo butuhki uang mendadak sekali bisaji dipake langsung. Nda usahmi lagi susah-susah pergi ke bank untuk ambil itu uang, tambah-tambah ongkos pengeluaran saja.”
Tetapi jika simpanannya tersebut telah habis apalagi bila sawi tersebut tidak memiliki usaha sampingan, maka sawi akan menggunakan jaringan sosial untuk mencari pinjaman. Kecenderungan yang tejadi sawi akan datang ke punggawa untuk meminjam, apalagi dengan proses pembayaran yang tidak terikat. Dimana proses pembayarannya diserahkan sepenuhnya oleh sawi, tidak ada standar waktu yang ditentukan oleh punggawa untuk membayar. Selain faktor ikatan kerja dan hubungan keluarga, kepercayaan juga merupakan faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut. Begitu pula ketika mereka akan pergi melaut dan tidak mempunyai uang untuk biaya operasional, maka sekali lagi mereka akan meminta kepada punggawa. Hal ini dianggap bukan sebagai pinjaman, tetapi memang merupakan bagian dari kewajiban punggawa untuk membiayai sawinya. Namun bila punggawa tidak mampu memberi pinjaman, ia tidak lepas tangan begitu saja. Punggawa akan menyuruh sawi meminjam ke orang lain dengan jaminan dalam beberapa hari berikutnya punggawa akan membayarnya.
Berbeda dengan sawi ketika punggawa mengalami masa sulit dengan modal yang semakin menipis. Bagi punggawa yang memiliki usaha sampingan, maka ia dapat memanfaatkan hasil dari usaha sampingannya itu untuk membantu biaya operasional sawinya. Hal ini tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Dg. Jumatang
“inimi juga untungnya bukaki warung, ada usaha sampingan. Karena kalo sering lagi nda dapat ikan baru nda adami lagi uang, biasa hasil dari warungmi lagi yang dipake untuk tambah-tambahi modalnya anggota kalo mau pergi melaut. Masalah makannya juga orang di rumah nda terlalu dipusingimi karena masih adaji ternak, hasil kebun jagung yang bisa dijual.”
Apalagi jika perahu, mesin, atau alat tangkapnya mengalami kerusakan maka punggawa akan meminjam di bank dengan jaminan tertentu. Tidak sama dengan sawi yang tidak berani meminjam uang ke bank dengan alasan ketidaksanggupan mereka untuk membayar setiap bulannya. Tetapi bagi pengumpul / punggawa yang tidak memiliki usaha sampingan, maka ia akan bernasib sama dengan sawi. Pinjaman yang dilakukan biasanya kepada keluarga yang berada di luar daerah Tanru Sampe. Meskipun hal ini sering membuat punggawa terbebani, namun tidak pernah dipersoalkan. Karena bagi mereka masalah seperti itu sudah menjadi resiko dan tanggung jawab. Sehingga sebisa mungkin punggawa harus mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang sering terjadi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan, di desa Tanru Sampe setiap pengumpul / punggawa memiliki sawi-sawi pemancing yang berbeda-beda. Tergantung kepada siapa mereka meminjam modal awal maka pada orang tersebutlah ia harus menjual ikannya. Meskipun begitu bila terjadi ketidakcocokan harga, biasanya terjadi proses tawar-menawar. Tetapi bila tidak ada kesepakatan maka sawi berhak menjual ikan kepada pengumpul ikan lain, dengan ketentuan pada saat itu nelayan sawi sedang tidak memiliki utang kepada pengumpul ikan tersebut. Hal ini merupakan hal yang dapat dimaklumi karena mayoritas sawi pemancing dari setiap pengumpul ikan / punggawa masih memiliki hubungan keluarga.
Luasnya wilayah mata pencaharian nelayan tidak menjamin kehidupan mereka akan berkecukupan. Nelayan pun memiliki masa-masa sulit yang justru lebih sering dialami daripada masa dimana penghasilan mereka melimpah. Masa-masa sulit itu mereka sebut ketika angin kencang dan ombak besar yang selalu terjadi pada setiap musim. Sehingga masa produksi aktif mereka hanya berlangsung sekitar satu sampai tiga bulan dalam setahun. Penghasilan pada masa aktif melaut sering sawi sisihkan sebagian untuk simpanan yang dapat digunakan pada masa sulit. Simpanan itu dapat disimpan kepada punggawa atau disimpan sendiri. Pinjaman yang dilakukan sawi biasanya terjadi ketika simpanan mereka telah habis. Selain itu, pinjaman yang diperoleh sawi dapat dibayar kapan pun mereka mau. Selain menaruh kepercayaan kepada sawi untuk menunggak pinjaman tanpa memberikan bunga, hal itu juga dilakukan karena mereka masih ada hubungan keluarga. Sehingga punggawa tidak khawatir dengan perandaian jika ada sawi yang beniat pergi meninggalkannya.
Punggawa yang dijadikan sebagai tempat meminjam oleh para sawi terkadang merasa terbebani. Sebab punggawa juga mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Punggawa yang memiliki usaha sampingan akan merasa sangat tertolong ketika menghadapi masa-masa sulit. Kesulitan yang dihadapi juga sering kali berbeda-beda, sehingga bila usaha sampingan tak mampu lagi menolong bank akan menjadi tempat lain untuk mengatasi masalah ini. Tetapi kesulitan antara punggawa yang tidak memiliki usaha sampingan dan sawi akan sama. Karena punggawa juga akan mencari pinjaman meskipun dengan tempat yang berbeda. Tidak semua punggawa berani meminjam ke bank, ketidaksanggupan pembayaran perbulan dan harus ada jaminan untuk pinjaman tersebut menjadi alasannya. Kepandaian punggawa dalam mengatasi masa-masa ini sangatlah penting. Untuk tetap dapat mempertahankan keberadaan sawi dan usahanya tetap dapat berjalan.
B. Saran
• Kesulitan ekonomi ternyata tidak hanya dialami oleh nelayan sawi, tetapi juga oleh punggawa. Oleh karena itu, hendaknya kita tidak terlalu mengeneralisasikan bahwa kesulitan ekonomi hanya dirasakan oleh nelayan sawi. Meskipun pada umumnya kecenderungan yang sering ditemui seperti itu. Namun punggawa juga tidak jarang mengalami kesulitan ekonomi yang serupa.
• Hendaknya pemerintah daerah setempat dapat membuat program untuk mengatasi masa sulit yang sering dirasakan oleh nelayan punggawa-sawi.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syahriati. 1993. Sistem Upacara Maudu Dalam Kehidupan Masyarakat Kelurahan Pa’biringa Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto (Skripsi). Makasssar : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Irawan, Prasetya. 2007. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok : Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. Yogyakarta : LKiS
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Salman, Darmawan. 2006. Jagad Maritim. Makassar : Ininnawa
(Tulisan ini merupakan Laporan Hasil Penelitian dalam mata kuliah praktek lapang Metode Penelitian Antropologi (MPA) pada awal tahun 2008. Laporan ini dibuat oleh : Yulidar Nalurita)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar